Laman

Rabu, 02 Mei 2012

Satpol PP Rampas BB Jurnalis



LAMPUNG, Jurnal Rakyat: Seorang anggota Satpol PP Bandar Lampung merampas BlackBerry milik jurnalis, Emir Fajar Saputra, Selasa (1/5/2012). Perampasan terjadi setelah Emir, jurnalis surat kabar "Bongkar", memotret beberapa anggota Satpol PP yang terlibat cekcok dengan seseorang di depan Kantor Dinas Tenaga Kerja Bandar Lampung, Jalan Diponegoro.

Emir mengatakan dia melihat belasan anggota Satpol PP mengerumungi salah seorang yang diduga petugas parkir. Karena ramai dan ricuh, dia pun memotret Satpol PP tersebut.

Mengetahui perbuatannya difoto, satu anggota Satpol PP langsung merampas BB Emir. Dia membawa BB tersebut ke Kantor Pemkot Bandar Lampung yang tidak jauh dari lokasi kejadian

"Saya minta BB saya dikembalikan, tapi Satpol PP minta supaya foto-foto yang tersimpan dihapus dahulu. Ya saya nggak mau," kata Emir. 

Merasa tidak terima Emir pun melaporkan perbuatan anggota Satpol PP itu kepada Sekretaris Daerah Bandar Lampung, Badri Tamam.

Badri memediasi pertemuan antara Satpol PP dan Emir. Setelah berdialog, BB Emir akhirnya dikembalikan.
Namun foto-foto didalamnya sudah dihapus oleh anggota Satpol PP. Emir mengaku kecewa.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Wakos Gautama mengecam tindakan aparat Satpol PP tersebut. "Perampasan alat kerja wartawan adalah bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan mengancam kebebasan pers," kata dia.

Menurut Wakos, seharusnya jurnalis melaporkan perbuatan anggota Satpol PP itu ke kepolisian. Perampasan alat wartawan bisa dikenakan sanksi pidana berdasarkan pada UU pers No 40 tahun 1999. (Detik)

MK: Kalah Praperadilan, Polisi dan Jaksa Tak Boleh Banding



JAKARTA, Jurnal Rakyat: Gebrakan putusan kembali dibuat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Yaitu dengan menghapus Pasal 83 ayat 2 UU No 8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur kewenangan penyidik serta penuntut umum mengajukan banding putusan praperadilan. Alhasil, kini polisi dan penyidik tidak boleh mengajukan praperadilan jika kalah.

"Pasal 83 ayat 2 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 83 ayat 2 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis Hakim Mahfud MD, saat membacakan putusan di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (1/5/2012).

Pasal 83 ayat 1 KUHAP tersebut berbunyi "Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding".

Sedangkan ayat 2 menyatakan "Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan/penuntutan, hal itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi".

Atas pengecualian ini, MK menilai Pasal 83 ayat 2 KUHAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 karena tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil.

"Dengan kata lain, Pasal 83 ayat 2 KUHAP tersebut memperlakukan secara berbeda antara tersangka/terdakwa di satu pihak dan penyidik serta penuntut umum di pihak lain dalam melakukan upaya hukum banding terhadap putusan praperadilan. Ketentuan demikian tidak sesuai dengan filosofi diadakannya lembaga praperadilan yang justru menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia," jelas Mahfud MD.

MK berpendapat bahwa untuk memperlakukan sama antara tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut terdapat dua alternatif yaitu memberikan hak kepada tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan banding atau menghapuskan hak penyidik dan penuntut umum untuk mengajukan permohonan banding.

Menurut MK, oleh karena filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat, untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum maka yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

"Dengan meniadakan hak banding kepada kedua pihak dimaksud maka pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (2) KUHAP beralasan menurut hukum, sedangkan permohonan Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 83 ayat (1) KUHAP tidak beralasan menurut hukum," ucap anggota hakim konstitusi lainnya, Ahmad Sodiki.

Putusan MK ini mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh anggota Polisi, Tjetje Iskandar, yang menguji Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang dinilai diskriminatif. Tjetje Iskandar menguji Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP karena aturan itu hanya membolehkan penyidik dan penuntut umum praperadilan untuk mengajukan banding jika permohonan praperadilan itu dikabulkan majelis hakim. (Detik)