Oleh : Dr Muhammad Hariyadi, MA
Sebelum mewajibkan puasa Ramadhan bagi kaum
Muslimin tahun ke-2 hijriyah, Allah SWT telah mensyariatkan puasa kepada para
nabi terdahulu.
Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, syariat puasa pertama
diterima oleh Nabi Nuh AS setelah beliau dan kaumnya diselamatkan oleh Allah
SWT dari banjir bandang. Nabi Daud AS melanjutkan tradisi puasa dengan cara
sehari puasa dan sehari berbuka.
Dalam pernyataannya Dawud AS berkata, “Adapun hari
yang aku berpuasa di dalamnya adalah untuk mengingat kaum fakir, sedangkan hari
yang aku berbuka untuk mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah
SWT.”
Pernyataan Dawud AS tersebut ditegaskan oleh
Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud, yaitu
sehari berpuasa dan sehari berbuka.” (HR. Muslim).
Nabi Musa AS kemudian mewarisi tradisi berpuasa.
Menurut para ahli tafsir, Musa dan kaum Yahudi telah melaksanakan puasa selama
40 hari (QS. Al Baqarah: 40). Salah satunya jatuh pada tanggal 10 bulan
Muharram yang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas kemenangan yang
diberikan oleh Allah SWT dari kejaran Firaun.
Puasa 10 Muharram ini dikerjakan oleh kaum Yahudi
Madinah dan Rasul SAW menegaskan umat Islam lebih berhak berpuasa 10 Muharram
dari pada kaum Yahudi karena hubungan keagamaan memiliki kaitan yang lebih erat
dibandingkan dengan hubungan kesukuan.
Untuk membedakannya, Rasul SAW kemudian
mensyariatkan puasa sunah tanggal 9 dan 10 Muharram, selain untuk membedakan
puasa kaum Yahudi, juga ungkapan simbolik kemenangan kebenaran atas kebatilan.
Ibunda Nabi Isa AS juga melakukan puasa yang
berbeda dengan para pendahulunya, yaitu dengan tidak berbicara kepada siapa
pun. Allah SWT berfirman, “Maka jika kamu melihat seorang manusia, katakanlah:
‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Mahapemurah, maka
aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini’.” (QS.
Maryam: 26).
Keempat riwayat di atas merupakan sejarah puasa
agama samawi yang menjadi rujukan
disyariatkannya puasa dalam Islam. Adapun puasa agama ardhi (agama
buatan manusia), kendati sama sekali bukan rujukan namun mereka juga telah
melakukan puasa dengan model yang berbeda-beda.
Sebelum puasa Ramadhan diwajibkan, Rasul SAW telah
memerintahkan kaum Muslimin puasa Hari Asyura tanggal 9 dan 10 Muharram. Namun
begitu perintah puasa Ramadhan tiba, puasa Asyura yang sejatinya ditambah satu
hari oleh Rasul SAW menjadi puasa sunah.
Tingginya tingkat kesulitan dalam melaksanakan
puasa menjadikan syariat ini turun belakangan setelah perintah haji, shalat dan
zakat. Wajar jika kemudian ayat-ayat tentang puasa Ramadhan turun secara
berangsung-angsur: Pertama, perintah wajib puasa Ramadhan dengan pilihan. (QS.
Al-Baqarah: 183-184).
Kaum Muslimin boleh memilih berpuasa atau tidak
berpuasa, namun mereka yang berpuasa lebih utama dan yang tidak berpuasa
diharuskan membayar fidyah. Kedua, kewajiban berpuasa secara menyeluruh kepada
kaum Muslimin, dengan pengecualian bagi orang-orang yang sakit dan bepergian
serta manula yang tidak kuat lagi berpuasa (QS. Al-Baqarah: 185).
Awal mulanya kaum Muslimin berpuasa sekitar 22 jam
karena setelah berbuka mereka langsung berpuasa kembali setelah shalat Isya.
Namun, setelah sahabat Umar bin Khathab mengungkapkan kejadian mempergauli
istrinya pada satu malam Ramadhan kepada Rasul SAW, turunlah QS Al Baqarah: 187
yang menegaskan halalnya hubungan suami-istri di malam Ramadhan dan ketegasan
batas waktu puasa yang dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari.
Inilah syariat puasa dalam Islam yang
menyempurnakan tradisi puasa seluruh agama samawi yang ada sebelumnya.
Republika – Jum, 20 Jul 2012